
Definisi-definisi Penting:
Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat global adalah: jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap.
Penyedia jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan
usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan
serta memiliki ijin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang.
Pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan
usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan
potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaat jasa
lingkungan di luar jurisdiksi hukum Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial
kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan.
Sistem pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial
dituangkan dalam kontrak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen
sistem PJL adalah: (a) jasa lingkungan yang dapat diukur; (b) penyedia; (c) pemanfaat; (d) tata cara pembayaran.
Tujuan pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah:
sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari
Indikator Target RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)
Nasional 2010-2014:
1. Adanya kebijakan dan regulasi nasional yang: mendukung kinerja skema jasa lingkungan secara komprehensif, meliputi jasa lingkungan tata air, penyerapan karbon, keanekaragaman hayati, dan keindahan lanskap,
bersifat umum dan fleksibel tapi mampu menyelesaikan masalah-masalah spesifik dan lokal.
2. Adanya Komisi Jasa Lingkungan Nasional beranggotakan para wakil pengampu kepentingan dengan jumlah tidak lebih dari tujuh belas (17) orang terdiri dari: unsur pemerintah, akademisi atau pakar, lembaga swadaya masyarakat, bisnis, organisasi masyarakat, yang berfungsi: mengatur dan menetapkan kebijakan umum pengelolaan jasa lingkungan di tingkat nasional, menyusun dan menetapkan pedoman penyelenggaraan pengelolaan jasa lingkungan
yang meliputi aspek legal, teknis dan operasional, memberikan supervisi dan asistensi kepada Lembaga Pembiayaan Jasa Lingkungan. melakukan pengawasan terhadap Lembaga Pembiayaan Jasa Lingkungan, memberikan sanksi admnistratif kepada jajaran pengurus lembaga bila melanggar tugas pokok dan fungsinya, dan
membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak terkait.
3. Adanya lembaga-lembaga penyelenggara system PJL, yaitu: Lembaga Pembiayaan Jasa Lingkungan sebagai
lembaga pembiayaan untuk pengelolaan jasa lingkungan. Lembaga Sertifikasi jasa lingkungan sebagai lembaga yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Lembaga Akreditasi Jasa Lingkungan sebagai
lembaga yang berfungsi melakukan akreditasi terhadap lembaga sertifikasi jasa lingkungan.
Catatan penting: lembaga-lembaga tersebut tidak harus terdiri dari lembaga bentukan pemerintah tetapi pula memberikan ruang bagi lembaga non-pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut di atas.
4. Uji coba pengembangan sistem PJL sekurangkurangnya di sepuluh DAS di Indonesia.
Latar Belakang dan Pesan Kunci
(MEA) menyimpulkan dua pertiga jasa lingkungan yang terkait dengan kesejahteraan manusia sedang mengalami degradasi atau dimanfaatkan secara tidak berkelanjutan (MEA 2002). Hal ini memiliki konsekuensi serius bagi
dunia serta berdampak langsung terhadap kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Pemanfaatan sumberdaya dengan cara-cara yang melampaui potensi pemulihan alami akan mempengaruhi ketersediaan jasa lingkungan di masa mendatang. Jika terus berlanjut, aset lingkungan akan menurun tajam dan jasa lingkungan yang saat ini diperoleh cuma-cuma akan hilang atau menjadi mahal dalam jangka waktu dekat. Pada akhirnya, hal tersebut akan membahayakan kesejahteraan manusia. Masyarakat miskin yang dua pertiganya berada di Asia dengan kehidupan yang sangat bergantung pada alam akan menjadi lebih menderita dan pilihan mata pencaharian mereka juga akan terus berkurang.
Di tengah menurunnya daya dukung bumi dan kemiskinan yang makin meningkat, muncul komitmen global untuk memperkecil dampakdampak yang mungkin ditimbulkan serta berupaya mempertahankan berbagai pilihan untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan caracara yang berkelanjutan. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan wilayah hutan hujan tropis terluas dan kepadatan penduduk tertinggi, memiliki peran penting dalam
meningkatkan kesejahteraan manusia dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya
menggariskan kebijakan strategis untuk menjawab tantangan tersebut.
Dr Tom Tomich dkk dari World Agroforestry Centre (2004) menyebutkan dua hal yang mempengaruhi praktik pengelolaan lahan terkait dengan peningkatan jasa lingkungan : (1) regulasi, berbasis pendekatan perintahdan-
kontrol dan pendekatan administratif yang lebih tradisional (2) penghargaan, mengacu pada berbagai ide baru pengaturan insentif jasa lingkungan, biasanya akan mendorong motivasi penyedia jasa lingkungan untuk mengelola dan melindungi lanskap mereka dengan lebih baik.
Pembayaran jasa lingkungan (PJL) mulai dikenal di negara-negara berkembang, terutama di Asia. Konsep PJL menjanjikan efisiensi untuk mencapai tujuan konservasi dengan anggaran terbatas. PJL mengenalkan konsep pengaturan dan kesukarelaan yang inovatif bagi penjual dan pembeli jasa lingkungan. Pada awalnya, mekanisme pasar jasa lingkungan memahami konsep PJL secara sempit. Contoh: penyediaan jasa lingkungan sangat tergantung pada permintaan dari pemanfaat jasa lingkungan. Selain itu, para pemanfaat jasa lingkungan terbatas
dari kalangan swasta dan industri. Upaya peningkatan kehidupan dengan penerapan suatu mekanisme dipercayai akan mengurangi keefektifan PJL. Di negara-negara berkembang, pemahaman sempit seperti ini berakibat tidak munculnya PJL. Pada kenyataannya, terdapat banyak kasus dimana masyarakat berupaya mempertahankan dan melindungi lingkungan mereka bagi kepentingan pihak lain dan memperoleh pengakuan dan penghargaan sebagai imbalan.
Untuk bergerak melampaui konsep PJL yang sempit seperti itu, kamimenawarkan perspektif barudalam menanggulangi degradasi lingkungan melalui pemanfaatanjasa lingkungan. Pengakuan terhadap jasa lingkungan bermakna ganda yaitu perlindungan lingkungan dan pemberantasan kemiskinan.
Ide dasar skema PJL adalah focus pada perubahan perilaku komunitas yang mengelola dan melindungi jasa
lingkungan dengan menciptakan aturan pemberian insentif dan pengakuan:
1. Dalam meningkatkan mata pencaharian dan juga menjaga aset lingkungan, pemerintah dan berbagai organisasi pembangunan lainnya seharusnya berfokus pada modal ganda seperti disebutkan oleh Kerangka kerja Penghidupan Berkelanjutan: modal alami, manusia, sosial, fisik dan finansial. Kegagalan untuk menyeimbangkan kelima modal
tersebut akan menyebabkan kemiskinan (van Noordwijk dkk 2007, Leimona dkk 2009).
Pesan kunci 1:
Beranjak dari konsep “Sustainable Livelihood Framework”, jasa lingkungan dihasilkan dari perpaduan aset
alami, kualitas manusia, kondisi sosial yang kondusif, serta modifikasi teknik.
Contoh: jasa lingkungan tata air seperti aliran air yang teratur untuk keperluan PLTA, dipengaruhi oleh: 1) banyaknya
curah hujan; 2) perilaku masyarakat di hulu; 3) kondisi sosial masyarakat hulu yang mendukung penerapan praktek penggunaan lahan yang ramah lingkungan; dan 4) system penggelontoran air yang efisien.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak lestari ditambah dengan berbagai desakan ekonomi akan mengganggu ketersediaan aset-aset alami tersebut. Untuk memulihkan ketersediaan jasa lingkungan, maka diperlukan perubahan
perilaku dan pola pengelolaan lahan dengan cara-cara yang lestari.
Perubahan struktur pemberian insentif akan dapat mewujudkan perubahan perilaku supaya lebih kondusif bagi penyediaan jasa lingkungan yang dimungkinkan dengan adanya penegakan eraturan, pemberian imbalan yang seimbang, dan tekanan moral yang berjalan seiring. Skema PJL tidak dapat berjalan tanpa dukungan kebijakan dan regulasi pemerintah, pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk skema tersebut, serta adanya kesadaran
masyarakat.
2. Jasa lingkungan dihasilkan dari berbagai jenis penggunaan lahan, bukan hanya monopoli lahan hutan. Lanskap pertanian juga menyediakan jasa lingkungan disamping produk pertanian jika bentuk multifungsi pertanian tetap dipertahankan. Salah satu contoh bentuk lanskap pertanian multifungsi adalah system wanatani atau agroforestri. Berbagai riset membuktikan bahwa sistem wanatani dapat menyediakan fungsi tata air ang sama seperti hutan. Salah satu riset ICRAF di Sumberjaya, Lampung, membuktikan bahwa 80% jenis spesies burung di hutan alam dapat ditemukan di agroforestri kopi yang produktif. Di lain pihak, penyediaan jasa lingkungan dari lahan hutanhanya dimungkinkan bila pengelolaan hutan dilakukan secara berkelanjutan.
Pesan kunci 2:
Penyediaan jasa lingkungan yang lestari memerlukan pendekatan berbasis lanskap dan integratif antara berbagai penggunaan lahan. Dengan kata lain, penyediaan jasa lingkungan harus sejalan dengan rencana penggunaan lahan setempat, rencana pengelolaan hutan dan prioritas pembangunan.
3. Pengembangan konsep pembayaran jasa lingkungan perlu berfokus pada empat kriteria:
a. Skema realistis yang mempertimbangkan jenis dan besaran ketersediaan jasa lingkungan, besaran insentif yang adil, ancaman dan peluang, serta tingkat kepercayaan antar para pemangku kepentingan, b. menekankan pada kinerja (conditional),
c. mengusung asas sukarela dari penerima jasa lingkungan dan penyedia jasa lingkungan,
d. menjawab kebutuhan dan menghilangkan halangan masyarakat miskin (pro-poor) terutama di pedesaan untuk
kehidupan yang lebih baik.
Pesan kunci 3:
Perlu diingat keempat konsep ini adalah target yang perlu dicapai dalam membangun suatu skema PJL. Yang perlu dihindari adalah pemahaman yang salah bahwa dengan adanya skema PJL maka semua tujuan akan dapat dicapai dengan sendirinya. Penggunaan kata PJL bukanlah jaminan sukses dan PJL merupakan alat bukan tujuan akhir.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Dr. Meine van Noordwijk dan anggota COMMITTEES, jejaring peduli
jasa lingkungan dengan keanggotaan multi-disiplin dan multi-institusi: Christine Wulandari (FKKM, INAFE & UNILA), Gamma Galudra,Rachman Pasha, Irma Nurhayati (ICRAF), Bustanul Arifin (INDEF & UNILA), Sambas Basuni (IPB), Rahadian (Rekonvasi Bhumi), Dedy Prasetyo (UNESCAP & Advokat), Tri Agung Rooswiadji, Fathi Hanif, Ridha Hakim (WWF Indonesia), Ernawati (Dephut) atas kontribusinya dalam mendefinisikan istilahistilah penting untuk PJL dan pembahasan konsep kelembagaan PJL, serta ideide bagi pengembangan PJL di Indonesia. Penulis: Beria Leimona (World Agroforestry Centre - ICRAF SEA) LBeria@cgiar.org , Munawir (LP3ES) nawir@lp3es.or.id, Nanang Roffandi Ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar