Tanggal 10 juni 29 thanun yang lalu, di sebuah rumah yang sangat sederhana terdengar isak tangis dan di kelilingi rasa cemas yang kian mencekam. Temaram lampu menembah kecemasan semakin kelam.
Detik demi detik seiringing dengus suara desah seorang ibu tengah berusaha dengan keras agar terbebas dari beban yang telah di sandarnya selama sembilan bulan sepuluh hari.
Tanggal 10 juni setahun yang lalu, ku terima kabar dari kakak ku, di sangat mengharapkan agar akun kalau bias kembali kerumah. Kubaca pesan tersebut dengat hikmat di sela sela sang ustad membacakan doa pertanda saat membatalkan ppuasa telah tiba. Saat itu aku dan teman dalam sebuah acara buka puasa sunah bersama di salah satu rumah pejabat di
Selang sepuluh meni setelah pesan pertama datang, kakak ku yang lain kembali mengirimkan berita dari rumah yang isinya tidak jauh beda “mengharapkan aku kalau bias kembali ke kampong untuk berkumpul bersama sama dengan keluarga besarku yang lain nya.
Deru isak tangis sayup tetapi sangat jelas terdengar dari sudut sudut ruang dan celah dinding papan rumah kku.
Bisik bisik yang terdengar seakan minta kepastian dan ingin kejelasan. Suara suara tersebut senmakin berani untuk menuntut kami semua agar dapat di kumpulkan. Kami sanak family keluarga besar muharram.
Dengan napas yang terjegal jegal dia memaksa untuk dapat melihat kehadiran anak anaknya kembali, seoalh menjadi hakim dia seakan mencoba mengitung jumlah anak yang tak kunjung sempurna. Ataukah dia memang telah lupa berapa sebenarnya jumlah anak2nya semua. Ya dialah bapak ku yang rudah renta.
Nafas terus memberat, dan mata terus memejam. Intah istirahat karena kelehan setelah isajk tangis jabang bayi memecahkan suasana, ada ceria yang sangat jelas tampak dari wajah para tetangga yang datang memanerikan sumbangan tenaga bila bapak ku membutuhkan. Anak tersebut adalah aku yang pada beberapa hari setelah kejadian tersebut di beri nama “Ratno Sugito”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar