=====

Bibit POHON YANG DITANAM harus dirawat minimal hingga usia lima tahun, baru bisa ditinggalkan. Tetapi yang terjadi adalah rehabilitasi dimulai dengan seremoni yang meriah, lalu diserahkan kepada alam untuk memeliharanya. Apakah itu berarti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dicanangkan Presiden atau Gubernur kita

Sisa Tapal Batas KEL

Nagan Raya – Kawasan Ekositem Leuser (KEL) merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis terluas di Asia Tenggara. terletak di bagian pulau Sumatra, secara adminitrasi kawasan ini berada di wilayah Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara. KE berada pada posisi geografis 2,25-4,95 LU dan 96,35-98,55 BT dengan curahan hujan rata-rata 2544 mm per tahun dan suhu harian rata-rata 26 derajat celcius pada siang hari 21 derahjat celcius pada malam hari.
Keseluruhan Luas KEL adalah 2.634.874 hektar, dan berada di dua provinsi. 2.255.577 hektar berada di propinsi Aceh dan sisanya 384.297 hektar berada di Sumut, cakupan wilayah administrasi terdiri dari 13 kabupaten dengan 875 desa di Aceh dan 4 kabupaten dengan 128 desa di sumut.Sebagian  KEL berada di daratan rendah dan sebagian besar lainnya berada di derah pegunungan dengan ketinggian di atas 3000 mdpl. Hutannya terdiri atas berbagai tipe ekosistem seperti hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan daratan rendah, hutan sub-pegunungan, hutan pegunungan dan hutan sub-alpine berupa padang luas yang ditutupi tundra.
Berdasarkan SK Mentri Kehutanan No.190/Kpts-II/2001 tentang pengesahan batas Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh, kawasan ini terdiri atas : Hutan Lindung (941.713 hektar), Taman Nasional Gunung Leuser (602.582 hektar), Suaka Margasatwa Rawa Singkil (102.370 hektar), Taman Buru Lingga Isaq (29.090 hektar), Hutan produksi terbatas (8.066 hektar), Hutan produksi (245.676 hektar), Area Penggunaan Lain (APL) (326.080 hektar), Danau (145 hektar), Laut/Sungai/Air (3.721 hektar).
Untuk penanda batas kawasan kawasan ekosistem leuser (KEL),sebagai tanda batas, pada sisi luar kawasan ditandai dengan adanya pemancangan beton, lebih tepatnya disebut tugu berbentuk prasasti berukuran lebih kurang 1×1,5 meter dengan tulisan Batas Kawasan Ekositem Leuser disertai angka sebagai nomor pada setiap tugu.
Kabupaten Nagan Raya mempunyai sebagian kawasan KEL dalam wilayahnya, antara lain hutan rawa gambut tripa, hampir keseluruhan pemanfaatannya diperuntukkan bagi perkebunan sawit dengan mengabaikan fungsi sosial, lingkungan dan status dari Kawasan Ekosistem Leuser sendiri.
Dari informasi masyarakat yang berdomisili disalah satu gampong dalam kawasan rawa tripa yang juga termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser, sebenarnya dulunya masih ada beberapa tugu lagi yang mudah kita jumpai dalam kawasan ini, hanya saja sekarang sudah tidak terlihat lagi semenjak beberapa perusahaan membuka hutan untuk lahan perkebunan sawit mereka. Semua berawal dari masa konflik, karena pada masa itu tidak ada yang memperdulikan tentang hutan, jadi ini semakin mempermudah pihak-pihak yang tak bertanggung jawab untuk memnghancurkan hutan dalam areal Kawasan Ekosistem Leuser.
”Biasanya pihak perusahaan memaksa menekan kedalam tanah tapal batas itu dengan alat berat kalau mereka jumpai saat bekerja dilapangan, makanya sekarang tugu batas KEL hanya tinggal di area yang tidak dikuasai oleh perusahaan saja, saya sudah melihat sendiri saat alat berat membenamkan tapal batas itu kedalam tanah,” terang Ali warga gampong Kuala Seumayam setengah meyakinkan.
Beberapa waktu lalu Atjehlink  menyempatkan diri berkunjung kelapangan, kami hanya menemukan dua titik tugu batas KEL yang masih utuh namun sudah ditutupi belukar dan ilalang. Pertama kami menemukan titik tapal batas bernomor 20 di pinggir sungai Tripa yang berbatasan dengan ruas jalan lama Meulaboh-Blang Pidie.
Setelah beberapa hari berselang kami kembali menemukan titik tapal batas bernomor 01, tugu ini jauh ke dalam, bahkan kami harus menempuh perjalanan melewati sungai Seumayam selama dua jam menggunakan motor boat masyarakat setempat, sungai ini menjadi pembatas antara kabupaten Nagan Raya dan kabupaten Aceh Barat Daya.
Tugu batas kedua ini terletak tepat dipinggir laut lepas samudra hindia, di muara Krueng Seumayam, berjarak 150 meter kearah barat.  Kondisi tugu ini juga tak jauh berbeda dengan yang pertama kami temukan, tembok itu ditutupi semak dan belukar, di titik sinilah dahulu gampong Kuala Seumayam berada sebelum pada tahun 2004 direlokasi ke dalam HGU PT Kalista Alam karena intervensi konflik Aceh terjadi disana.
Tugu tapal batas ini sudah lama dibangun, kira-kira pada tahun 80-an, namun sebagian besar masyarakat masih belum mengerti apa fungsi dari tapal batas ini.
”Masyarakat disini tidak ada yang tahu untuk apa tembok ini dibangun, mungkin ayah kami juga tidak tahu, makanya ketika beberapa dari tembok ini dirusak kami tak merasa khawatir karena kami tak pernah merasa memiliki serta tak pernah tahu. Saya saja baru mengerti apa fungsi dari tembok ini melalui teman-teman aktivis lingkungan yang bekerja bersama kami dalam membela tanah kami, sebenarnya informasi ini sangat penting bagi kita semua dalam melakukan pembangunan kedepan,” terang Ali, warga Kuala Seumayam.
Tak ada tapal batas KEL lainnya yang kami jumpai di sekitar ini, setidaknya ini menjadi catatan penting dalam sejarah pengelolaan lingkungan di Aceh, bahwa masih sangat banyak tapal batas kawasan yang tak berfungsi sebagaimana mestinya, tak jarang juga tapal batas ini diabaikan dalam setiap pembangunan khususnya sektor perkebunan dengan alasan demi meningkatkan pendapatan daerah. (zamroe)

Tidak ada komentar: