Nagan Raya – Kawasan
Ekositem Leuser (KEL) merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis
terluas di Asia Tenggara. terletak di bagian pulau Sumatra, secara
adminitrasi kawasan ini berada di wilayah Provinsi Aceh dan Provinsi
Sumatra Utara. KE berada pada posisi geografis 2,25-4,95 LU dan
96,35-98,55 BT dengan curahan hujan rata-rata 2544 mm per tahun dan suhu
harian rata-rata 26 derajat celcius pada siang hari 21 derahjat celcius
pada malam hari.
Keseluruhan Luas KEL adalah 2.634.874
hektar, dan berada di dua provinsi. 2.255.577 hektar berada di propinsi
Aceh dan sisanya 384.297 hektar berada di Sumut, cakupan wilayah
administrasi terdiri dari 13 kabupaten dengan 875 desa di Aceh dan 4
kabupaten dengan 128 desa di sumut.Sebagian KEL berada di daratan
rendah dan sebagian besar lainnya berada di derah pegunungan dengan
ketinggian di atas 3000 mdpl. Hutannya terdiri atas berbagai tipe
ekosistem seperti hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan daratan rendah,
hutan sub-pegunungan, hutan pegunungan dan hutan sub-alpine berupa
padang luas yang ditutupi tundra.
Berdasarkan SK Mentri Kehutanan
No.190/Kpts-II/2001 tentang pengesahan batas Kawasan Ekosistem Leuser di
provinsi Aceh, kawasan ini terdiri atas : Hutan Lindung (941.713
hektar), Taman Nasional Gunung Leuser (602.582 hektar), Suaka Margasatwa
Rawa Singkil (102.370 hektar), Taman Buru Lingga Isaq (29.090 hektar),
Hutan produksi terbatas (8.066 hektar), Hutan produksi (245.676 hektar),
Area Penggunaan Lain (APL) (326.080 hektar), Danau (145 hektar),
Laut/Sungai/Air (3.721 hektar).
Untuk penanda batas kawasan kawasan
ekosistem leuser (KEL),sebagai tanda batas, pada sisi luar kawasan
ditandai dengan adanya pemancangan beton, lebih tepatnya disebut tugu
berbentuk prasasti berukuran lebih kurang 1×1,5 meter dengan tulisan
Batas Kawasan Ekositem Leuser disertai angka sebagai nomor pada setiap
tugu.
Kabupaten Nagan Raya mempunyai sebagian
kawasan KEL dalam wilayahnya, antara lain hutan rawa gambut tripa,
hampir keseluruhan pemanfaatannya diperuntukkan bagi perkebunan sawit
dengan mengabaikan fungsi sosial, lingkungan dan status dari Kawasan
Ekosistem Leuser sendiri.
Dari informasi masyarakat yang
berdomisili disalah satu gampong dalam kawasan rawa tripa yang juga
termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser, sebenarnya dulunya masih ada
beberapa tugu lagi yang mudah kita jumpai dalam kawasan ini, hanya saja
sekarang sudah tidak terlihat lagi semenjak beberapa perusahaan membuka
hutan untuk lahan perkebunan sawit mereka. Semua berawal dari masa
konflik, karena pada masa itu tidak ada yang memperdulikan tentang
hutan, jadi ini semakin mempermudah pihak-pihak yang tak bertanggung
jawab untuk memnghancurkan hutan dalam areal Kawasan Ekosistem Leuser.
”Biasanya pihak perusahaan memaksa
menekan kedalam tanah tapal batas itu dengan alat berat kalau mereka
jumpai saat bekerja dilapangan, makanya sekarang tugu batas KEL hanya
tinggal di area yang tidak dikuasai oleh perusahaan saja, saya sudah
melihat sendiri saat alat berat membenamkan tapal batas itu kedalam
tanah,” terang Ali warga gampong Kuala Seumayam setengah meyakinkan.
Beberapa waktu lalu Atjehlink
menyempatkan diri berkunjung kelapangan, kami hanya menemukan dua titik
tugu batas KEL yang masih utuh namun sudah ditutupi belukar dan
ilalang. Pertama kami menemukan titik tapal batas bernomor 20 di pinggir
sungai Tripa yang berbatasan dengan ruas jalan lama Meulaboh-Blang
Pidie.
Setelah beberapa hari berselang kami
kembali menemukan titik tapal batas bernomor 01, tugu ini jauh ke dalam,
bahkan kami harus menempuh perjalanan melewati sungai Seumayam selama
dua jam menggunakan motor boat masyarakat setempat, sungai ini menjadi
pembatas antara kabupaten Nagan Raya dan kabupaten Aceh Barat Daya.
Tugu batas kedua ini terletak tepat
dipinggir laut lepas samudra hindia, di muara Krueng Seumayam, berjarak
150 meter kearah barat. Kondisi tugu ini juga tak jauh berbeda dengan
yang pertama kami temukan, tembok itu ditutupi semak dan belukar, di
titik sinilah dahulu gampong Kuala Seumayam berada sebelum pada tahun
2004 direlokasi ke dalam HGU PT Kalista Alam karena intervensi konflik
Aceh terjadi disana.
Tugu tapal batas ini sudah lama
dibangun, kira-kira pada tahun 80-an, namun sebagian besar masyarakat
masih belum mengerti apa fungsi dari tapal batas ini.
”Masyarakat disini tidak ada yang tahu
untuk apa tembok ini dibangun, mungkin ayah kami juga tidak tahu,
makanya ketika beberapa dari tembok ini dirusak kami tak merasa khawatir
karena kami tak pernah merasa memiliki serta tak pernah tahu. Saya saja
baru mengerti apa fungsi dari tembok ini melalui teman-teman aktivis
lingkungan yang bekerja bersama kami dalam membela tanah kami,
sebenarnya informasi ini sangat penting bagi kita semua dalam melakukan
pembangunan kedepan,” terang Ali, warga Kuala Seumayam.
Tak ada tapal batas KEL lainnya yang
kami jumpai di sekitar ini, setidaknya ini menjadi catatan penting dalam
sejarah pengelolaan lingkungan di Aceh, bahwa masih sangat banyak tapal
batas kawasan yang tak berfungsi sebagaimana mestinya, tak jarang juga
tapal batas ini diabaikan dalam setiap pembangunan khususnya sektor
perkebunan dengan alasan demi meningkatkan pendapatan daerah. (zamroe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar